gemuhblanten.desa.id (09/10) Dalam budaya Jawa, ada orang yang dikenal berwatak tumbak cucukan, karena berlidah sangat tajam bagaikan mata tombak. Misalnya, suka ribut dan bertengkar dengan sesama, termasuk dengan sanak saudara, tetangga dan bahkan dengan keluarga sendiri.
Orang berwatak tumbak cucukan sering pula dilukiskan memiliki hati berbulu sangat gatal, lidah berbisa ganas dan bibir berduri runcing, karena sering menyakiti perasaan orang lain dengan ucapan penuh kebencian, suka mencaci-maki, menghina, mengadu domba, menyebarkan berita bohong atau memfitnah.
Jika suatu kampung ada warga yang berwatak tumbak cucukan, niscaya akan sering ribut. Pergaulan antarwarga akan sering diwarnai pertengkaran atau tak pernah bisa damai dan nyaman. Pada titik ini, aparat bisa dibuat sibuk melerai pertengkaran konyol.
Apa pun agamanya, setinggi apa pun ilmu dan pangkatnya, sebanyak apa pun kekayaannya, jika dia berwatak tumbak cucukan, maka dia akan tercela. Hanya orang-orang yang sama-sama berwatak tumbak cucukan saja yang suka berteman dengannya.
Mudah Menular
Watak tumbak cucukan mudah menular. Karena itu, jika di suatu kampung ada warga yang berwatak tumbak cucukan dan punya banyak teman akan segera terbentuk menjadi sebuah kelompok. Misalnya, ada kelompok ibu-ibu berwatak tumbak cucukan yang suka bergunjing. Biasanya mereka suka berkumpul sambil petan (mencari kutu di rambut) untuk digigit hingga mati, sambil menjelek-jelekkan atau menghina orang lain dengan kata-kata keji.
Atau, ada juga kelompok bapak-bapak berwatak tumbak cucukan yang suka bergunjing di gardu. Mereka juga suka menghina orang lain dengan kata-kata kotor. Mereka suka berdebat keras yang berakhir dengan pertengkaran atau bahkan perkelahian. Lantas mereka saling melapor kepada aparat. Maka suasana kampung jadi gaduh dan aparat akan kerepotan untuk menciptakan kedamaian dan kenyamanan bersama.
Selain itu, ada pula kelompok anak muda yang sama-sama berwatak tumbak cucukan. Mereka suka bicara kasar dan mengumpat kelompok lain. Akibatnya mereka sering bentrok. Jika bentrokan mereka didukung orang tua masing-masing maka bisa jadi akan meluas menjadi tawuran antar kelompok atau bahkan tawuran antardesa yang diwarnai bakar-bakaran rumah dan menelan banyak korban.
Orang berwatak tumbak cucukan bisa saja berseteru dengan orang yang berwatak sama. Maka jika suatu kelompok tumbak cucukan berseteru dengan kelompok tumbak cucukan lain, kampung bisa selalu gaduh, karena pertengkaran mereka bisa sangat terbuka dan berlangsung berulang-ulang dalam waktu lama. Semua kata-kata kotor seperti umpatan dan kutukan bisa bersahut-sahutan.
Jika orang yang berwatak tumbak cucukan menjadi pemimpin kelompok, dapat dipastikan akan suka mengeluarkan kata-kata tajam kepada mereka yang dipimpinnya. Jika misalnya dia menjadi kepala desa maka seluruh warganya bisa jadi akan sering dihina dan diumpat-umpat sehingga akan ikut-ikutan suka menghina dan mengumpat.
Orang berwatak tumbak cucukan pasti selalu emosional, sehingga setiap bicara akan terdengar kasar dan membentak-bentak. Bisa dibayangkan jika yang dibentaknya punya nyali untuk membalas membentak, pasti akan terjadi adu mulut atau pertengkaran hebat yang dipenuhi kata-kata kotor.
Di mata masyarakat beradab, orang berwatak tumbak cucukan adalah orang yang tidak tau atau tidak peduli etika pergaulan. Dia juga tidak peduli atau tidak tahu malu. Karena itu, dia tidak mau diberi nasehat. Bahkan, orang yang mencoba memberinya nasehat akan dianggap musuhnya.
Karena jumlah orang beradab atau yang menjunjung tinggi etika selalu mayoritas di tengah masyarakat, jumlah orang yang berwatak tumbak cucukan selalu minoritas. Namun, meskipun jumlahnya minoritas, akan sering lebih populer karena suka bicara keras dan kasar memprovokasi pertengkaran di banyak tempat.
Orang berwatak tumbak cucukan juga pasti bersikap intoleransi dan agresif. Dia suka menganggap orang yang berbeda dengannya sebagai orang yang celaka dan terkutuk. Maka tidak berlebihan jika dia dianggap suka memancing pertengkaran atau memicu konflik di mana saja dan kapan saja.
Meski bisa saja dimusuhi banyak pihak, orang berwatak tumbak cucukan sering tidak takut. Dia tetap saja suka mencela dan menjelek-jelekkan orang lain. Dia baru meminta maaf jika posisinya betul-betul dianggap membahayakan. Misalnya, ketika banyak pihak yang dihina rame-rame hendak mengeroyoknya maka dia bisa saja akan meminta maaf atau kabur untuk menyelamatkan diri dari amuk massa.
Orang yang berwatak tumbak cucukan pasti suka membentak-bentak. Karena itu, jika dia berada di tengah orang yang bersikap sama, suasana akan mudah menjadi sangat gaduh dan tegang. Misalnya, kalau dia ikut musyawarah maka dia akan mengeluarkan pendapatnya dengan berteriak keras-keras. Maka musayawarah bisa berubah menjadi pertengkaran yang penuh dengan teriakan-teriakan.
Dalam masyarakat Jawa ada keyakinan bahwa watak itu berbeda dengan watuk (batuk).
Maksudnya, watuk lazimnya bisa diobati atau disembuhkan, sedangkan watak tidak bisa diobati atau disembuhkan, kecuali dengan kesadaran diri untuk serius mengubahnya. Sialnya, watak buruk seperti tumbak cucukan bisa mudah menular dan semua yang tertular tidak sadar bahwa wataknya tersebut sangat buruk dan mudah menular.
Dan, yang lebih sial lagi, pada saat ini sosial media bisa berubah menjadi sarana penularan watak tumbak cucukan secara global. Buktinya, sosial media semakin dipenuhi ujaran kebencian, adu domba, caci maki, umpatan, berita bohong atau fitnah.
Begitulah, deskripsi tentang orang yang berwatak tumbak cucukan. Sekarang, bangsa kita tentu bisa menilai, siapa saja yang layak dianggap berwatak tumbak cucukan, terkait berbagai kegaduhan yang terjadi akhir-akhir ini.
Keadaan mungkin akan semakin gaduh dan tegang jika orang berwatak tumbak cucukan mendapat kesempatan seluas-luasnya untuk memperbesar kelompoknya atau untuk menularkan wataknya, apa lagi jika dipilih rakyat untuk menjadi pemimpin.
Referensi : jateng.tribunnews.com
Share :