Berita

Riyoyo Kupat

  • 02-07-2019
  • gemuhblanten
  • 3020

gemuhblanten.kendalkab.go.id (07/06) Riyoyo, itulah nama sebuah tradisi untuk menyambut datangnya hari raya Islam, baik Idul Fitri maupun Idul Adha. Riyoyo adalah suatu ritual atau tradisi dalam mensyukuri akan nikmat yang diberikan oleh Allah SWT dengan cara makan bersama yang diadakan di mushalla atau di masjid selepas melaksanakan sholat Id.

Orang-orang berbondong-bondong membawa bermacam-macam makanan ke musholla atau masjid untuk disantap bersama-sama sambil bercanda ria. Biasanya kalau Idul Fitri yang banyak dibawa adalah lontong Opor. Tradisi riyoyo menanamkan semangat untuk memberi yang terbaik, walaupun makanan itu tidak akan habis jika dimakan, karena semuanya membawa, namun tidak ada kesan mubadzir disana. Walaupun tidak habis dimakan tetapi ada barter makanan untuk dibawa pulang. Bagi yang membawa lontong maka pulangnya akan membawa kupat atau lepet dan sebagainya.

Sebetulnya tidak ada hal yang istimewa dalam Riyoyo karena makanan yang dimakanpun bukan makanan yang istimewa. Tetapi ada satu hal yang membuat Riyoyo menjadi istimewa karena tidak dilakukan setiap waktu hanya setiap lebaran saja. Doa-doa yang dibacakan sebelum dimulai serta makan yang dilakukan secara bersama-sama membuat Riyoyo menjadi lebih bermakna.

Dalam setahun tradisi ini biasanya dilakukan 3 kali, yaitu di hari raya ‘idul fitri tanggal 1 Syawal, hari raya ‘idul adha pada tanggal 10 Dzulhijjah, serta hari raya ketupat (atau masyarakat sering menyebutkan dengan istilah bodho Syawal) 1 minggu setelah hari raya ‘idul fitri.

Yang menarik dari ketiganya, yaitu hari raya Ketupat. Tradisi hari raya Ketupat ini dilakukan di beberapa daerah di Indonesia. Di Jawa, tradisi ini sering disebut "Riyoyo Kupat".

Ketupat ternyata memiliki simbol dan dan makna yang dalam. Dalam filosofi Jawa, Ketupat atau kupat dalam bahasa Jawa merupakan kependekan dari Ngaku Lepat dan Laku Papat. Ngaku lepat artinya mengakui kesalahan. Laku papat artinya empat tindakan.

Ngaku Lepat

Di dalam tradisi Jawa, bentuk "ngaku lepat" adalah berbentuk tradisi "Sungkeman". Prosesi "sungkeman" yakni bersimpuh di hadapan orang tua seraya memohon ampun, dan ini masih membudaya hingga kini. "Sungkeman" mengajarkan pentingnya menghormati orang tua, bersikap rendah hati, memohon keikhlasan dan ampunan dari orang lain, khususnya orang tua, ulama atau yang dituakan.

Laku Papat

Laku papat artinya empat tindakan dalam perayaan Lebaran. Empat tindakan tersebut adalah: Lebaran; Luberan;Leburan; dan Laburan.

Lebaran bermakna usai, menandakan berakhirnya waktu puasa. Berasal dari kata lebar yang artinya pintu ampunan telah terbuka lebar. Luberan bermakna meluber atau melimpah. Sebagai simbol ajaran bersedekah untuk kaum miskin. Pengeluaran zakat fitrah menjelang lebaran pun selain menjadi ritual yang wajib dilakukan umat Islam, juga menjadi wujud kepedulian kepada sesama manusia.

Adapun Leburan maknanya adalah habis dan melebur. Maksudnya pada momen lebaran, dosa dan kesalahan kita akan melebur habis karena setiap umat Islam dituntut untuk saling memaafkan satu sama lain.

Sedangkan Laburan berasal dari kata labur atau kapur. Kapur adalah zat yang biasa digunakan untuk penjernih air maupun pemutih dinding. Maksudnya supaya manusia selalu menjaga kesucian lahir dan batin satu sama lain.

Dalam tradisi Lebaran Ketupat yang dimulai seminggu sesudah lebaran itu hampir semua rumah di tanah Jawa saat itu membuat anyaman ketupat dari daun kelapa muda. Kemudian anyaman ketupat tersebut diisi dengan beras dan dimasak.

Riyoyo merupakan tradisi yang sangat mulia, disamping sebagai perwujudan rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa juga sebagai sarana silaturahmi antar sesama. Sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah, Riyoyo merupakan implementasi dari Hablumminallah dan Hablumminannas.

Share :